Kehidupan merupakan salah satu hal
yang telah di takdirkan tuhan pada mahluk ciptaanya entah itu kebahgiaan maupun
kesedihan. Tuhanlah yang menciptakan semuanya dan tanpa di ketahui oleh mahluk
manapun tentang sekenario apa yang tuhan buat untuk kita. Kini diriku hidup di
tengah gubuk yang masih sangat percaya dengan peninggalan-peninggalan nenek
moyangnya seperti seorang anak perempuan yang
belum bersuami tidak boleh terlalu sering keluar di malam hari. Jika
seorang perempuan terlalu sering keluar maka itu akan menjadi aip bagi keluarganya dan akan menjadi
omongan setiap orang yang mengetahuinya. Tidak banyak yang bisa seorang
perempuan lakukan disana, mereka hanya bisa keluar ketika orang tua yang
menyuruhnya.
Pada suatu malam aku duduk di teras
rumah lalu ayah menepuk pundakku “nak apa yang kamu lakukan disisni?” akupun
terkejut karna ayah datang begitu saja dari belakangku “aah ayah buat aku kaget
saja, Aku hanya sedang memandangi bintang yang sedang mengelilingi bulan ayah”
jawabku dengan jelas namun dengan muka yang masih belum sadar dari lamunan.
Ayahku terlihat seperti orang yang sangat bahagia karna senyuman yang manis
terpancar dari mukanya yang sudah tak lagi muda, kerutan di wajahnya sudah
terlihat jelas meski di pandang dari kejauhan, namun meski begitu ia selalu
tersenyum dan selalu membuat anak-anaknya bahagia termasuk diriku. Ayahku yang
telah membesarkanku dengan kasih sayangnya yang sangat tulus, ia menjadi
pendekar yang tiada duanya di keluargaku karna kelima anaknya perempuan. “owh
ternyata sekarang anakku sudah besar yea dan sudah sangat pandai menyembunyikan
rahasia dari ayahnya” sambung ayahku sambil menatap mukaku yang terlihat kusam
dan mataku yang sedang berkaca-kaca karna sedang memikirkan nasipnya yang
menjadi anak terkecil diantara keempat saudara-saudaranya yang sama cantiknya
dengan dirinya.
“aah ayah bisa aja menebak pikiran anak
cilikmu ini”
“kamu putriku sayang, jadi apa yang
tidak bisa ayah lihat dari muka polosmu itu”
“ayah apa boleh putrimu ini
bertanya?”
“silahkan saja nak, apa yang mau
engkau tanyakan pada pendekarmu ini?”
“pada saat ayah bertemu dengan ibu,
apakah ayah lansung suka dan mengajaknya menikah atau ayah berpacran dulu
dengan ibu”
“pertanyaan apa ini nak, usiamu masih
sangat kecil untuk mengenal yang namanya pernikahan lebih baik kamu belajar
dengan baik sebelum kamu menjadi seorang istri dan menjadi seorang ibu nantinya
nak”
Jawaban ayah membuatku semakin
penasaran karna jika di usiaku yang sudah 16 tahun saja aku masih di anggap anak
kecil terus kapan aku akan dewasa. Padahal jika di bandingkan dengan pelajaran
pisikologi yang pernah saya pelajari bahwa di usia 15 tahun ke atas maka
seorang anak sudah masuk dalam usia remaja. Terus kenapa ayah masih
menganggapku anak kecil yang tidak boleh mengetahui masalah pernikahan. Apa
pernikahan itu adalah sebuah masalah bagi seorang anak seusiaku untuk
mengetahuinya???
“terus kapan aku menjadi anak yang
dewasa ayah? Dan kapan aku harus tau tentang pernikahan?” ayahku lagi-lagi
tertawa mendengar pertanyaanku tentang pernikahan di malam itu.
“jika waktunya telah tiba maka kamu
akan mengetahui semuanya nak, sekarang lebih baik kamu masuk kekamarmu lalu
tidur karna tidak baik anak perempuan duduk di teras sediri malam-malam gini”.
Ayah tidak menjawab pertanyaanku tapi sambil berjalan ke dalam rumah ia menyuruhku
masuk kekamar dan tidur. “yea ayah sekarang putri cilikmu ini akan masuk”
“cepatan” sambut ayah dari dalam
rumah.
Malam sudah semakin gelap bulan dan
bintangpun menjadi penghias langit, sejenak aku memandanginya lalu seolah aku
bertanya padanya “bulan kenapa engkau
selalu setia pada bitang? Kenapa bintang selalu menemanimu setiap malam? Apa
karna engkau itu gagah dan bisa memberikan cahaya pada bintang-bintang cilik
itu? Jika itu semua benar lalu kenapa kehidupanku disini tidak seperti dirimu
bulan? Bulan aku berharap kau bisa menjawab pertanyaanku karna diriku yang sudah
sebesar ini masih dianggap anak kecil yang tidak boleh mengetahui permasalahan
orang-orang dewasa, apalagi pendekar kesayanganku itu ia selalu saja mengatakan
bahwa diriku adalah anak ciliknya yang masih sangat polos dan lugu, apa ia aku
masih seperti dugaan orang-orang itu bulan?”. Bulan hanya bisa diam seakan
mendengar pertanyaan-pertanyaanku itu namun tak ada jawaban yang ia berikan
kepadaku. Hanya diriku yang selalu bertanya pada bulan ketika malam telah tiba
meski aku tak pernah diberikan jawaban olehnya tapi aku yakin kalau suatu saat
aku akan menemukan jawaban dari seluruh pertanyanku itu.
Kakiku melangkah menuju kamar tidurku
karna aku tidak mau membuat pendekar hidupku marah kalau melihat saya terlalu
lama melamun di teras. Ranjang tidurku yang sudah di rapikan oleh bidadari
kesayangaku (ibu) sudah siap menemani diriku melewati malam dengan mimpi-mimpi
indah yang selalu menghiasi tidurku. Kepalaku sudah aku rebahkan di atas bantal
kesayanganku sambil berdo’a dan mengatakan pada malam “selamat tinggal malam yang sunyi, aku titip pertanyaanku padamu sampai
aku menemukan jawaban yang bisa membuatku berhenti bertanya padamu”. Good
night.
Ayuni Anwar. Lahir
31-12-1995, di NTB, Suka bermimpi dan bercanda
EmoticonEmoticon