![]() |
Kisah Dibalik Pemecahan Rekor MURI Catatan ParaInsom |
Sembilan tahun saya selalu
memimpikan bagaimana rasanya tidur di bawah jam 23.59. tentu fresh dan jauh
lebih semangat ketika menjalani sebuah aktifitas layaknya orang-orang pada
umumnya. Berbagai macam cara saya lakukan. Mulai mengonsumsi obat tidur, olah
raga agar badan pegal dan akhirnya capai, saat malampun rasanya semua itu
hanyalah sebagai pelipur lara saja.
Menyadari hal itu, saya terus berfikir
dan terus berfikir bagaimana agar kemudian insomnia dan susah tidurnya saya itu
tidaklah sia-sia. Minimal saya yang memiliki kekurangan semacam itu sedikit
lebih berkurang dengan hal-hal yang postif. Maka di awal-awal tahun 2013, saya
mulai menyukai dunia blogger, dan dilain hal memantabkan diri dengan komunitas-komunitas menulis,
seni dan sastra.
Di dunia blogger, oleh karena
pengetahuan yang sangat minim, lambat laun saya merasa tersingkirkan. Bukan
hanya kerana minim pengetahuan itu saja tentunya. Tetapi juga karena hal-hal
lain yang lebih sensitif. Seperti misalkan laptop yang sering mati karena tidak
bermerk, quota internet sering mandek kerana kantong selalu kosong. Tidak
apa-apa, minimal saya sedkit mengetahui bagaimanakah dunia blogger itu.
Di komunitas menulis, seni dan
sastra. Disinilah pemikiran saya lebih ditantang dari sebelumnya. Saya tiba-tiba
merasa sangat asing ketika sehari saja tidak menghayal, merenung, dan sesuatu
yang sangat imajinatif. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap kelakuan
insomnia saya. Ya, bila saya akan tidur. Suara-suara imajinatif tadi selalu
hadir dan mengganggu. Itu artinya mimpi dan cita-cita tidur di bawah pukul
23.59 itu rasanya semakin menjauh.
Kondisi ini diperparah lagi oleh
usia yang semakin menantang. Keuangan, kuliah yang tak selesai-selesai,
tuntutan keluarga hingga yang terakhir tuntuan asmara yang berujung disakiti.
Huppp. Lengkap sudah derita insomnia saya. Oh tuhan apapyang harus saya lakukan.
Sungguh nyaris saya putus asa. Namun ditengah-tengah itulah, Tuhan sepertinya memberi pemikiran yang lebih luas. Tinggal mau atau
tidak saya menerima itu dengan lapang. Saya dipertemukan dengan empat orang
kawan yang kondisi psikologi tak jauh beda dengan saya. Suatu hari saya pasti
memperkenalkan kepada dunia, siapa empat kawan terbaik itu. yang pasti,
pertemuan dengan mereka itulah yang kemudian melahirkan pemikiran saya
bagaimana agar kita memecah sebuah rekor muri.
Apakah saya tidak ditertawakan
ketika ide itu saya sampaikan ke pada mereka! Oh jangankan ditertawakan, bahkan
saya pun diolok dan dianggap stres. Tidak apa-apa, bagi saya, memang begitulah
cara mereka menantang sebuah ide gila. Apakah saya akan menyerah atau
meneruskan ide itu hingga ke titik nadir terakhir? Dan saya pilih meneruskannya
dengan berbagai macam resiko dan fitnah.
Bukankah semakin besar resiko yang
dialami seseorang oleh karena pemikirannya, semakin besar dan berkualitas pula
nilai yang terkandung dalam pemikiran itu, dan saya sangat meyakini hal ini.
Bismillah! Denga menyebut nama
Tuhan. Saya dan kawan-kawan Insom lainnya meletupkan event pemecahan rekor muri dalam kategori menulis buku palingtebal (7.000 halaman) bersama +3.000 orang dalam tajuk Catatan
ParaInsom.
EmoticonEmoticon