Kisah Dibalik [rencana] Pemecahan Rekor MURI Catatan ParaInsom

Kisah Dibalik Pemecahan Rekor MURI Catatan ParaInsom
2007 atau kurang lebih sembilan tahun yang lalu, oleh keluarga saya (CEO susahtidur.party) disekolahkan di sebuah pondok pessantren tanpa persetujuan pribadi saya. Sebagai anak, tentu saya tidak kuasa melawan kehendak orangtua. Di pondok pesantren itulah insomnia saya bermula hingga saat tulisan ini saya selesaikan.
 Sembilan tahun saya selalu memimpikan bagaimana rasanya tidur di bawah jam 23.59. tentu fresh dan jauh lebih semangat ketika menjalani sebuah aktifitas layaknya orang-orang pada umumnya. Berbagai macam cara saya lakukan. Mulai mengonsumsi obat tidur, olah raga agar badan pegal dan akhirnya capai, saat malampun rasanya semua itu hanyalah sebagai pelipur lara saja.

Menyadari hal itu, saya terus berfikir dan terus berfikir bagaimana agar kemudian insomnia dan susah tidurnya saya itu tidaklah sia-sia. Minimal saya yang memiliki kekurangan semacam itu sedikit lebih berkurang dengan hal-hal yang postif. Maka di awal-awal tahun 2013, saya mulai menyukai dunia blogger, dan dilain hal memantabkan diri dengan komunitas-komunitas menulis, seni dan sastra.

Di dunia blogger, oleh karena pengetahuan yang sangat minim, lambat laun saya merasa tersingkirkan. Bukan hanya kerana minim pengetahuan itu saja tentunya. Tetapi juga karena hal-hal lain yang lebih sensitif. Seperti misalkan laptop yang sering mati karena tidak bermerk, quota internet sering mandek kerana kantong selalu kosong. Tidak apa-apa, minimal saya sedkit mengetahui bagaimanakah dunia blogger itu.

Di komunitas menulis, seni dan sastra. Disinilah pemikiran saya lebih ditantang dari sebelumnya. Saya tiba-tiba merasa sangat asing ketika sehari saja tidak menghayal, merenung, dan sesuatu yang sangat imajinatif. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap kelakuan insomnia saya. Ya, bila saya akan tidur. Suara-suara imajinatif tadi selalu hadir dan mengganggu. Itu artinya mimpi dan cita-cita tidur di bawah pukul 23.59 itu rasanya semakin menjauh.

Kondisi ini diperparah lagi oleh usia yang semakin menantang. Keuangan, kuliah yang tak selesai-selesai, tuntutan keluarga hingga yang terakhir tuntuan asmara yang berujung disakiti. Huppp. Lengkap sudah derita insomnia saya. Oh tuhan apapyang harus saya lakukan.

Sungguh nyaris saya putus asa. Namun ditengah-tengah itulah, Tuhan sepertinya memberi pemikiran yang lebih luas. Tinggal mau atau tidak saya menerima itu dengan lapang. Saya dipertemukan dengan empat orang kawan yang kondisi psikologi tak jauh beda dengan saya. Suatu hari saya pasti memperkenalkan kepada dunia, siapa empat kawan terbaik itu. yang pasti, pertemuan dengan mereka itulah yang kemudian melahirkan pemikiran saya bagaimana agar kita memecah sebuah rekor muri.

Apakah saya tidak ditertawakan ketika ide itu saya sampaikan ke pada mereka! Oh jangankan ditertawakan, bahkan saya pun diolok dan dianggap stres. Tidak apa-apa, bagi saya, memang begitulah cara mereka menantang sebuah ide gila. Apakah saya akan menyerah atau meneruskan ide itu hingga ke titik nadir terakhir? Dan saya pilih meneruskannya dengan berbagai macam resiko dan fitnah.

Bukankah semakin besar resiko yang dialami seseorang oleh karena pemikirannya, semakin besar dan berkualitas pula nilai yang terkandung dalam pemikiran itu, dan saya sangat meyakini hal ini.

Bismillah! Denga menyebut nama Tuhan. Saya dan kawan-kawan Insom lainnya meletupkan event pemecahan rekor muri dalam kategori menulis buku palingtebal (7.000 halaman) bersama +3.000 orang dalam tajuk Catatan ParaInsom.

Lantas siapa sajakah yang +3000 orang itu. Yang akan mensukseksan event pemecahan rekor muri ini. Semoga salah satunya adalah engkau yang sedang membaca cerita  (yang mungkin tak penting) ini.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »